Di Amerika sendiri, ide-ide Deming dan Juran justru diabaikan. Pada tahun 1950-an dan 1960-an, bisnis Amerika memang dapat menjual dengan baik semua barang yang mereka produksi. Saat itu, penekanan industri Amerika dan sebagian besar dunia Barat adalah memaksimalkan produksi dan keuntungan. Dalam pasar penjualan barang saat itu, mutu mendapatkan prioritas yang rendah. Namun sejak akhir tahun 1970-an ketika mereka mulai kehilangan pasar, karena pasar mulai condong ke Jepang, maka beberapa perusahaan Amerika mulai memperhatikan pesan mutu dengan serius. Mereka mulai mempertanyakan kenapa pelanggan lebih cenderung memilih produk Jepang.
Di Amerika, titik balik di atas terjadi pada tahun 1980 dengan ditayangkannya sebuah film dokumenter NBC secara nasional, dengan judul "Jika Jepang Bisa, Kenapa Kita Tidak?". Program tersebut menyoroti dominasi industri Jepang di beberapa pasar Amerika. Bagian terakhir film dokumenter tersebut menonjolkan Deming dan kontribusinya terhadap kesuksesan ekonomi Jepang. Sejak saat itu, pesan Deming dan Jurran beserta pakar mutu lainnya termasuk Philip B. Crosby dan Armand V. Feigenbaum, menguasai imajinasi bisnis di Amerika dan Eropa Barat, meskipun pada realitasnya hanya ada sekelompok minoritas perusahaan Amerika yang mengimplementasikan TQM. Walaupun demikian, mutu benar-benar telah menjiwai banyak agenda meskipun perjalanan menuju TQM sebagai norma masih panjang.
Pencarian jawaban terhadap kompetisi Jepang mendapatkan perhatian serius dalam salah satu teks manajemen yang paling berpengaruh pada tahun 1980-an, yaitu Peters dan Waterman, "In Search of Excellence" (1982). Peters dan Waterman menganalisis unsur-unsue penting dari perusahaan yang unggul di Jepang, kemudian di Amerika. Penelitian mereka menunjukkan bahwa perusahaan yang memiliki hubungan baik dengan pelanggan adalah mereka yang selalu bersifat kompetitif dan menguntungkan.
Keunggulan berjalan beriringan dengan sebuah pendapat yang sederhana namun penting, yaitu "Dekat dengan Pelanggan" dengan obsesi dengan peningkatan mutu. Organisasi yang baik adalah organisasi yang memiliki struktur non-birokratis yang didasarkan pada tim yang aktif dan antusias. Unsur-unsur ini dapat menjadi bagian dari setiap organisasi, tapi bagi perusahaan-perusahaan Jepang unsur-unsur tersebut betul-betul sudah diterapkan dengan sangat baik dan antusias.
Mutu Terpadu (total quality) membutuhkan manager yang mampu mengesampingkan sejenak keuntungan jangka pendek dan menetapkan tujuan keberhasilan jangka panjang. Untuk tetap terdepan dalam kompetisi, sebuah organisasi harus mengetahui kebutuhan pelanggan, kemudian menyatukan pikiran untuk bertindak memenuhi kebutuhan mereka. Sudah diakui secara umum bahwa posisi Jepang sebagai kekuatan industri terdepan disebabkan oleh usaha mereka dalam memahami pesan mutu dengan menerapkan mutu tersebut sebagai landasan bagi setiap sikap dan hubungan antar pekerja.
Perbedaan antara metode industri Jepang dengan metode industri Barat terletak pada kultur, tapi tidak sepenuhnya pada kultur nasionalisme semata. Perbedaan utamanya adalah pada kultur perusahaan-perusahaan mereka dan sikap mereka terhadap mutu. Semua guru terkenal, seperti Deming, Juran, Crosby, dan Peters, menganjurkan pentingnya perubahan kultur kerja agar mutu terpadu bisa meraih sukses. Ada banyak contoh keunggulan di Barat dan kesuksesan perusahaan-perusahaannya seperti British Airways yang selalu dihubungkan dengan penerapan TQM.
Di Inggris Raya dan Eropa Barat pesan jaminan mutu memang baru didengar, namun ada kesadaran yang terus meningkat bahwa mutu adalah kunci utama menuju keunggulan yang kompetitif. Kompetisi tidak hanya untuk kepentingan pasar, tetapi juga dalam mempekerjakan karyawan-karyawan yang paling inovatif dan bermotivasi. Bahkan ada kampanye untuk meningkatkan standar sertifikasi mutu Eropa pasca-1992, dan The Europen Foundation for Quality Management yang telah didirikan oleh 14 perusahaan penting Eropa, termasuk Volkswagen dan Philips.
Sallis, E. (2006). Total Quality Management in Education. Yogyakarta: IRCiSoD
No comments:
Post a Comment