Silahkan Anda menjawab pertanyaan dari judul tulisan ini. Hampir semua orang yang menjawab pertanyaan di atas dengan jawaban "siswa", "pesera didik", "lulusan yang berkualitas", atau "kemandirian" dan lain sebagainya, bahkan ada juga yang merasa berkeberatan jika lembaga pendidikan harus dianalogikan dengan industri di mana hasil akhir dari proses yang dijalani menghasilkan sebuah produk. Kemudian saya coba mengganti kalimat pertanyaan di atas dengan mengganti kata "produk" dengan "sesuatu yang dijual" dan "sesuatu yang ditawarkan" yang pada akhirnya mereka menjawab dengan "kompetensi", "daya saing mencari kerja atau masuk jenjang pendidikan berikutnya", dan lain sebagainya. Apapun jawaban Anda, baik sama ataupun berbeda dengan yang saya tulis, silahkan simpan saja terlebih dahulu dan saya mengajak Anda untuk sama-sama membahasnya.
Ada dua pertanyaan yang mendasar yang perlu diungkap sebelum menjawab pertanyaan yang tertulis pada judul tulisan ini dan berkaitan juga dalam memahami mutu dalam pendidikan, di mana pemahaman ini juga berlaku untuk dunia usaha atau industri. Pertanyaan yang pertama adalah "apa produknya?" pertanyaan kedua adalah "siapakah pelanggannya?". Pengendalian mutu memang lahir dari dunia industri, melihat hasilnya yang sangat memukau maka konsep pengendalian mutu diterapkan di bidang lain termasuk dunia pendidikan. Akan tetapi kebanyakan lembaga pendidikan menerapkan tahap pengendalian mutu yang sangat mendasar ataukonvensional di mana tahap ini justru sudah tidak digunakan lagi oleh industri. Tahap yang paling mendasar ini yaitu tahap pengendalian yang hanya dilakukan di bagian akhir suatu proses atau disebut dengan inspeksi, di mana barang hasil produksi yang sesuai dengan kualifikasi dapat langsung masuk pasar sedangkan barang yang tidak sesuai kualifikasi di-reject atau kembali menjalani suatu proses yang kemudian diinspeksi lagi. Di dunia pendidikan, tahap dasar ini adalah berupa pemberian ujian kepada peserta didik dengan materi ujian yang telah di berikan, di mana peserta didik yang mampu mencapai nilai tertentu dapat melanjutkan ke jenjang berikutnya (naik kelas atau lulus) sedangkan peserta didik yang nilainya kurang harus menempuh suatu proses lagi yang kemudian di uji kembali. Perlu penulis tekankan lagi tiga catatan penting dari analogi industri dan lembaga pendidikan di atas.
Pertama, pengendalian mutu lahir dari industri barang. Kedua, tahap yang hanya melakukan seleksi di tahap akhir suatu proses dalam pengendalian mutu adalah tahap pengendalian mutu yang paling dasar (konvensional) dan sudah tidak digunakan lagi di industri besar. Ketiga, analogi di atas memiliki arti bahwa produk yang berupa barang (di industri) adalah peserta didik yang berupa manusia (di lembaga pendidikan). Sekarang yang menjadi pertanyaan lagi adalah lembaga pendidikan bergerak di bidang mana? Barang atau jasa?. penulis yakin bahwwa kita semua setuju bahwa lembaga pendidikan bergerak di bidang jasa.
Kata "produk" memang sedikit membingungkan dan menyesatkan. Sebagian besar oarang saat mendengar kata "produk" langsung terbayang di benaknya berupa benda berwujud yang terlihat dan dapat disentuh, walaupun sebenarnya "produk" dapat berupa barang atau jasa (lihat kamus besar bahasa Indonesia). Pihak yang menjual barang seperti mobil, sepeda motor, sepeda gunung, perabot rumah tangga, makanan dan lain sebagainya sudah pasti mereka menawarkan kepada para calon pembeli atau pelanggan barang dagangan mereka. Akan tetapi, bagi pihak yang menjual jasa seperti salon, panti pijat, travel, dan lain sebagainya termasuk lembaga pendidikan, apa yang mereka tawarkan kepada para calon pelanggan? Salon tidak menjual potongan atau gaya rambut, panti pijat tidak menawarkan urat yang lentur, dan agen travel juga tidak menjual kota tujuan, begitu juga lembaga pendidikan tidak mungkin menjual peserta didiknya.
Untuk lebih jelasnya mari kita bahas beberapa karakteristik pemberian jasa yang membedakannya dari penciptaan barang. Pertama, jasa meliputi hubungan langsung antara pemberi dan pengguna atau dengan kata lain terjadi hubungan langsung antara pemberi jasa dengan pelanggan atau penerima jasa. Kedua, jasa diberikan tepat waktu atau dengan kata lain jasa dipergunakan atau dikonsumsi tepat pada saat jasa tersebut diberikan kepada pelanggan. Ketiga, jasa lebih identik dengan sebuah proses.
Dari ketiga karakteristik jasa tersebut dapat kita ketahui bahwa sebenarnya salon "menjual" proses memotong rambut, panti pijat "menjual" proses melenturkan urat-urat yang kaku, travel "menjual" proses mengantar ke kota tujuan, dan akhirnya dapat kita ketahui juga bahwa sebenarnya lembaga pendidikan "menjual" proses mendidik atau yang lebih dikenal dengan Proses Belajar Mengajar (PBM) atau Kegiatan Belajar Mengajar (KBM). Memang harus diakui bahwa mereka (pemberi jasa) tidak dapat menawarkan produk mereka seperti yang dilakukan penjual barang, dan ini merupakan karakteristik lain dari jasa yaitu selalu berhadapan dengan ketidakpastian dalam mendeskripsikan produknya kepada para calon pelanggan.
Untuk pertanyaan yang kedua, yaitu "siapakah pelanggannya (dalam lembaga pendidikan)?" kita bahas di tulisan yang terpisah.
No comments:
Post a Comment